AKULTURASI ANTARA
TRADISI LOKAL, HINDU – BUDHA DAN ISLAM DI INDONESIA
Keragaman suku
bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan
sangat berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi
Islam di Indonesia. Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan
bahasa, adat istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga
perbedaan orientasi nilai yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman
masyarakat.
Setiap suku bangsa,
selain memiliki kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki sistem
pengetahuan dan cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masuknya
unsur baru dalam kehidupan tentu saja mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya
hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial budaya masyarakat setempat
merupakan bentuk paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan
masyarakat. Berdasarkan pengelompokan yang diperkenalkan oleh pelopor studi
hukum adat, Van Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat yang
mengisyaratkan agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki
ciri adat tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang tinggi
telah ada sebelum Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah. Daerah yang
keterkaitannya dengan adat begitu tinggi dan paling intens menerima proses
islamisasi antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Terutama
menyangkut persoalan untuk mempertemukan atau menyelaraskan agama dan adat
dalam kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan dan
tradisi lokal dalam masyarakat yang masih terdapat sisa-sisa tradisi
meghalithikum (adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu
besar, seperti menhir adalah tugu yang melambangkan arwah nenek moyang sehingga
menjadi benda pujaan. Dolmen adalah bentuknya seperti meja batu berkakikan
tiang satu dan merupakan tempat sesaji). Pada dasarnya tertumpu pada keyakinan
tentang adanya aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam
dunia. Tradisi kepercayaan dan sistem sosial budaya adalah produk masyarakat
lokal dalam menciptakan keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah melakukan
upacara adat, menghadirkan tata cara menanam dan memanen, melakukan selamatan
serta melakukan upacara peralihan hidup.
Contoh lain tradisi
lokal:
Di Tapanuli,
kepercayaan lokal dikenal dengan nama parmalim atau agama si Raja Batak. Di
Kepulauwan Mentawai disebut Sabulungan, di Dayak disebut Kaharingan, di Toraja
disebut Aluk to dolo. Di Sulawesi Tengah di sebut Parandangan, di Sumbawa
disebut Baramarapu, di Nias disebut Ono niha. Di Sika (Maumere) disebut Ratu
bita bantara. Kepercayaan lokal tersebut memang berbeda di setiap daerah, hal
itu menunjukkan keragaman budaya yang ada di Indonesia.
Kemudian tadi
dijelaskan mengenai kebudayaan megalithikum yang belum disebutkan adalah ada
juga arca-arca (ini mungkin melambangkan nenek moyang mereka dan menjadi
pemujaan), kubur batu (peti mayat dari batu yang keempat sisinya berdindingkan
papan-papan batu, alas dan bidang atasnya juga dari papan batu). Punden
berundap-undap (yaitu bangunan pemujaan yang tersusun berttingkat-tingkat).
Pada umumnya kebudayaan megalithikum ini terdapat di seluruh Indonesia seperti
di Sumatera, Bali, Jawa, dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat Jawa telah
mengenal cerita wayang dan ini adalah merupakan asli budaya Jawa.
Indonesia sejak
zaman neolithikum atau zaman batu muda di mana alat yang dibuat sudah diasah
sehingga menjadi halus dan indah. Dikatakan bahwa sejak zaman Neolithikum
bangsa Indonesia telah mengenal:
1.Cara pertanian
padi
2.Mengenal alat
pemotong padi
3.Teknik pembuatan
batik
4.Peternakan
5.Teknik pembuatan
periuk belanga
6.Membuat alat-alat
dari logam
7.Pembuatan rumah
panggung
8.Mendirikan
monument (bangunan pemujaan)
9.Sudah mengenal
organisasi pemerintahan secara teratur yang dikepalai Kepala Desa dan menurut
Adat
10.Membuat/menggunakan
mata uang.
Perpaduan Tradisi
Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui
bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia
telah memiliki kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Kebudayaan asli masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya
Hindu-Budha membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia.
Unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat
kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang
merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi
antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha tersebut, antara lai
sebagai berikut:
·
Sistem Kepercayaan. Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia telah
memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga
kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut animism dan
dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah
akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan atau pemujaan terhadap para
dewa di candi, terlihat pula adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Dalam bangunan candi terdapat pripih yang di dalamnya terdapat benda-benda
lambang jasmaniah raja yang membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai
makam. Di atas pripih terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan raja dan pada
puncak candi terdapat lambang para dewa (biasanya berupa gambar teratai pada
batu persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang
ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan pemujaan terhadap roh
nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama yang lain tetapi
esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.
·
Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara
mendalam). Wujud akulturasi Indonesia dan Hindu—Budha di bidang filsafat dapat
ditemukan dalam cerita wayang. Isi cerita tersebut mengandung nilai filosofis,
yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran akan berakhir dengan kebahagiaan dan
kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan kecurangan akan berakhir dengan
kehancuran.
·
Seni wayang yang sudah popular dalam kehidupan masyarakat Indonesia
(khususnya masyarakat Jawa) bersumber dari cerita Ramayana dan mahabrata yang
berasal dari India. Namun, penampilan wujud tokoh dalam wayang tersebut adalah
budaya Indonesia yang antara daerah satu dan lainnya berbeda. Baik dalam agama
Hindu maupun Budha, keduanya mempercayai adanya hukum karma dan reinkarnasi.
Kedua hukum tersebut mengandung makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus
berbuat kebaikan, kebenaran, dan kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan.
Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu telah berkembang
suatu konsep berupa petuah-petuah, nasehat atau pesan yang mengandung makna
filosofis tentang kebenaran, kejujuran dan kebaikan.
·
Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha, pemerintahan
di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu untuk menentukan seorang
pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan. Setelah masuknya budaya
Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan kerajaan yang tidak lagi dipilih secara
demokratis, tetapi secara turun temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat
pemerintahan demokratis tetap menampakkan kembali ciri khasnya. Pemerintah
kerajaan tetap menerapkan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kekuasaan raja
tidak bersifat mutlak seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu
dilakukan secara turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama
bila raja tidak mempunyai putra mahkota.
·
Seni Bangunan. Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia membawa
pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi. Jika dilihat dari
bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang terdiri atas kaki
candi, tubuh candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu ditemukan pripih yang
berisikan lambang jasmaniah raja (yang membuat candi), kemudian di atasnya
terdapat patung dewa dan pada puncaknya terdapat lambang para dewa. Dengan
demikian, jika dilihat dari bentuk bangunannya candi akan mengingatkan kita
pada bangunan punden berundak. Oleh karena itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia
dan unsur Hindu-Budha.
·
Fungsi candi di India adalah sebagai tempat untuk memuja dewa. Di
Indonesia, candi berfungsi sebagai makam dan pemujaan terhadap roh nenek
moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang jasmaniah raja di dalam pripih,
sedangkan arca di atasnya adalah perwujudan raja yang telah meninggal tersebut.
·
Seni Rupa. Masuknya kebudayan Hindu-Budha berpengaruh terhadap
perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh, seni hias yang berupa relief pada
dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya akulturasi antara budaya
Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi biasanya merupakan suatu
cerita yang berhubungan dengan agama.
·
Relief pada dinding Candi Borobudur seharusnya adalah cerita tentang
riwayat Sang Budha Gautama. Namun, yang digambarkan adalah suasana kehidupan
masyarakat Indonesia karena ditemukannya hiasan gambar perahu bercadik, rumah
panggung, dan burung merpati. Pada Candi Jago di Jawa Timur dijumpai tokoh
Punakawan, yaitu orang yang menjadi pengawal seorang ksatria. Cerita itu hanya
ditemukan di Indonesia.
·
Seni Sastra. Pengaruh seni sastra India juga turut memberi corak dalam
seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar pengaruhnya terhadab sastra
Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara, dan prasasti di Jawa
tengah pada umumnya ditulis dalam bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam
perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup
dominan, terutama dalam istilah pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet
(sebuah jabatan yang mengkordinasi pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan
Agung Titayasa di Banten, patih lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka.
·
Sistem Kalender. Sistem penanggalan (kalender) Hindu-Budha turut
berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya kalender Saka di
Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha memperingati suatu
peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka dimulai tahun 78 M.
Kalender Saka merupakan kalender dari India yang digunakan di Indonesia.
Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam prasasti Talang Tuo (adalah prasasti
yang menjelaskan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang
berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa
dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti tersebut merupakan wujud akulturasi
kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
·
Candrasangkala adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau
gambar. Setiap kata dalam kalimat tersebut dapat diartikan dengan angka,
kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca tahun Saka. Beberapa gambar
harus dapat diartikan ke dalam kalimat.
Contoh tahun
candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang artinya:
Sirna : berarti
angka 0
Ilang : berarti
angka 0
Kertaning : berarti
4
Bumi : berarti 1
Jadi, sirna ilang
kertaning bumi dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama dengan tahun 1478 M.
Perpaduan Tradisi
Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia
Bersamaan dengan
masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula kebudayaan Islam di
Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga
lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan
Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur
kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain
dapat dilihat sebagai berikut:
·
Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil kebudayaan
zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur
budaya sebelumnya, seperti berikut ini;
Fisik Bangunan.
Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam
yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah
(cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing
atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam
ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam
para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para
pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu
gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam,
misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang
berbentuk candi.
Tata Upacara
Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara
dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti
merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal
kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi
penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah
meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga
saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam.
Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal,
Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan
dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit
Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama
Hindu-Budha makam dalam candi.
·
Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam
yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki
perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di
Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam
dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
Bentuk Bangunan.
Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo
(balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk
persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah
biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap
tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.
Menara. Menara
merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan
berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat.
Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata
merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).
Letak Bangunan.
Dalam ajaran Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur secara khusus. Namun, di
Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa
sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat
alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat
bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya
kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda
masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli.
Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
·
Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni
rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur)
yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan
gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang
terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah
satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di
Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk
menghias bangunan makam atau masjid.
·
Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara
diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan
Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak
menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu
disebut dengan istilah Arab gundul.
·
Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di daerah
sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat dalam karya
sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat Amir Hamzah,
Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping itu, pengaruh budaya
Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia. Misalnya, Hikayat
Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang, dan Syair Panji
Semirang.
Cara penulisan
karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di
Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu,
tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran
disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut
syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf
Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan
Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).
·
Sistem Pemerintahan. Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi
dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam
dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah
berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan
besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan
perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi
dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan
(susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan
dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam
penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama
Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono.
Di samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja
secara turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang
lainnya ditentukan dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti
Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya.
Begitu pula, dengan
sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap
tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan
Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat.
Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh,
tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara
pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal
(tabuh/beduk yang dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan
penobatan raja), kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di
sebelah kanan dan perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa,
pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak
dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan
Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram
juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan
raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.
·
Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam
sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau
Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram
pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa
telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa,
nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir,
Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin,
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran,
seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.
·
Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab
masalah-masalah yang tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan
mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat Islam
menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang
orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta dan rindu
terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dan kemewahan dunia serta
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari
Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya
dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat di
Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang
ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi
ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
·
Aliran Kebatinan
Dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan sufi.
Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam.
Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena dianggap menyesatkan.
·
Filsafat Jawa
Filsafat Jawa
sangat erat sekali hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh karena itu, dalam
penyebaran Islam di pulau Jawa para walimenggunakan wayang sebagai medianya.
Tokoh yang terkenal adalah Sunan Kalijaga.
Perbandingan Konsep
Kekuasaan di Kerajaan Hindu-Budha dengan Kerajaan yang bercorak Islam.
Dalam ajaran
Hinduisme dan Budhisme terdapat suatu pandangan yang dikenal sebagai kosmogoni
(asal-usul alam semesta). Dalam konsepsi tersebut manusia mengaggap bahwa
antara dunia manusia dan jagat raya terdapat kesejajaran. Pandangan tersebut
memengaruhi alam pikiran manusia sehingga melahirkan konsepsi tentang hubungan
antara manusia dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu dihubungkan dengan kegiatan
politik dan kekuasaan yang berwujud dalam susunan pemerintahan. Hal itu terjadi
juga pada kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menganggap raja dan
kerajaannya (mikro kosmos) merupakan gambaran nyata dari jagat raya (makro
kosmos).
Menurut pandangan
masyarakat pada zaman Hindu-Budha, raja dianggap sebagai orang tokoh yang
diidentikkan dengan dewa. Kekuasaan raja dianggap tidak terbatas. Ia tidak
dapat diatur dengan cara duniawi karena dalam dirinya terdapat kekuatan yang mencerminkan
roh dewa yang mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra
kerajaan para dewa, baik dalam aspek material maupun aspek spiritualnya. Raja
dan para pegawainya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan yang
dimiliki oleh para dewa. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan raja tidak boleh
dibantah oleh siapa pun.
Dalam konsep
kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam, mengkultuskan raja tidak berlaku karena
dalam ajaran agama Islam kedudukan antara manusia dengan Tuhan sangat berbeda.
Tuhan berada di atas segala-galanya. Ajaran Islam menempatkan raja dalam
kedudukan yang tidak semulia dan seagung pada zaman Hindu-Budha, tetapi sebagai
khalifatullah, yaitu sebagai wakil penguasa di dunia dan akan dimintai
pertanggungjawabannya nanti. Manusia yang akan diangkat sebagai khalifatullah
akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang tertentu.
Berdasarkan hal
tersebut, seorang raja harus memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan.
Bentuk legitimasi itu oleh orang Jawa disebut wahyu atau cahaya nubuwat atau
pulung. Seseorang yang mendapat wahyu dari Tuhan berupa pulung keraton atau
kekuatan suci, ia akan menjadi penguasa tanah Jawa. Selain itu, seorang raja
harus memiliki perlambang yang mempunyai kekuatan magis.
Dalam kitab Babad
Tanah Jawi, dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit sebelum diserahkan
kepada Raden Patah harus terlebih dahulu diduduki (dilungguhi) oleh Sunan Giri
selama empat puluh hari sebagai syarat untuk menolak bala. Perlambang lainnya
yang menunjukkan kekuatan magis adalah alat gamelan berupa gong. Di Kerajaan
Banjar, tanda yang berkekuatan magis berupa payung, keris, umbul-umbul, mahkota
dan gamelan. Di Ternate, benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis, antara
lain mahkota kereta keranjang, paying, bendera, keris dan pedang.
Penghapusan konsep
dewa raja pada zaman islam tidak mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan
raja yang menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat. Sultan sebagai seorang
raja yang berkuasa atas rakyatnya dianggap dapat menghubungkan mereka dengan
alam gaib. Hal itu dapat dilihat dalam tradisi pemberian gelar pangeran
(susuhunan, panembahan) kepada seorang sultan atau raja. Karena raja menduduki
posisi sentral, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan
raja. Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para pejabat diyakini
diperoleh dari raja.
Jadi, baik dalam
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun Islam, konsepsi magis-religius memainkan
peran yang menentukan, tidak hanya dalam melegitimasi kekuasaan raja, tetai
juga dalam menjelaskan peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta
hubungan antara raja dan rakyatnya.
Rangkuman:
·
Perpadun antara tradisi lokal dengan kebudayaan Hindu-Budha terlihat
pada sistem kepercayaan, filsafat, pemerintahan, seni bangunan, seni rupa, seni
sastra, dan sistem kalender.
·
Perpaduan antara tradisi lokal, Hindu-Budha, dan Islam terlihat pada
seni bangunan seperti makam dan masjid, seni rupa, aksara, seni sastra, sistem
pemerintahan, sistem kalender, dan filsafat seperti aliran kebatinan serta
filsafat jawa.
·
Dalam hal kekuasaan raja, ajaran Hindu-Budha sangat mengagungkan
kedudukan seorang raja, sedangkan ajaran islam tidak. Karena dalam ajaran agama
Islam, semua manusia di mata Tuhan memiliki kedudukan yang sama atauyang
membedakannya hanya karena taqwanya.
Terimakasih kak, sangat membantu 😊
BalasHapussama sama dek, alhamdulillah kalo membantu
HapusBosan dengan game yang tidak jelas? Dan Ingin game yang menarik ? silahkan kunjungi saja web kami di s1288poker terbaik, tercepat, teraman & terpercaya kami disini juga menyediakan berbagai game judi online yang tidak kalah serunya seperti Poker, Domino, Capsa , Ceme, ceme keliling dan live poker serta anda juga akan di temanin oleh CS kami yang ramah dan online 24jam . . . (WA : 081910053031)
BalasHapus